Menulis novel, cerpen, atau puisi adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Kita bisa berimajinasi dan menjadi Tuhan dalam karya kita sendiri. Setelah menulis 27 buku solo (fiksi dan non-fiksi), saya pun menyadari kesalahan fatal penulis fiksi yang juga saya lakukan.
Sebenarnya, saya juga saya sering ditanya, lebih menikmati menulis fiksi atau non-fiksi seperti artikel blog? Saya jawab keduanya. Menulis non-fiksi ini mendatangkan cuan lebih cepat untuk saya karena saya memiliki klien copywriting sampai kelas menulis grup.
Fiksi adalah sesuatu yang memenuhi jiwa saya yang saya kerjakan lebih lama dan perlahan, tidak langsung mendatangkan cuan, tetapi pikiran saya tidak ‘miring’ karena idealisme itu terpenuhi.
Melakukan Kesalahan Itu Wajar
Sebelum saya jabarkan kesalahan apa saja yang pernah atau bisa saja kita lakukan sebagai penulis fiksi, saya tekankan lagi jika ini tidak masalah. Meskipun sudah menulis 27 buku yang di antaranya adalah belasan novel atau novelet, saya pun masih melakukan kesalahan.
Tidak ada karya yang sempurna. Penulis itu pembelajar. Di setiap karya, kita akan mendapatkan pembelajaran dan bertumbuh.
Kalau kamu menemukan beberapa kesalahan ketika sedang menulis cerita fiksi di bawah ini, lakukan perbaikan dan jadikan motivasi untuk terus meningkatkan kualitas menulis.
3 Kesalahan Fatal Penulis Fiksi
Agak seram juga, ya, subjudulnya? Masalahnya, kalau ini tidak kita teliti dan revisi, bisa berpengaruh pada cerita, lho. Apa saja jenis kesalahannya?
Menggunakan Tokoh Pendamping Tanpa Fungsi
Ketika saya menulis novel La Venganza yang masuk 5 Besar Kompetisi AT Press Solo beberapa tahun lalu dan berhasil diterbitkan, saya membuang satu karakter yang tidak berfungsi pada plot cerita.
Terkadang, kita menciptakan karakter sampingan untuk menambahkan warna pada cerita, tetapi semakin adegan bertambah, tokoh sampingan ini tidak punya peran apa-apa pada perkembangan karakter tokoh, latar belakangnya juga kurang jelas, sampai mendadak menghilang di tengah cerita.
Ini berbeda dengan tokoh yang memang hanya sepintas lalu, misalnya protagonis bertemu penjaga sekolah sebelum bolos. Tokoh figuran memang tidak perlu dipertegas fungsinya karena hanya untuk memperjelas situasi dan setting yang dialami protagonis.
Menyusun Cerita Tanpa Prinsip Kausalitas
Mendadak di pertengahan cerita protagonis melakukan tindakan yang tidak terbaca tanpa sebab. Contohnya, sejak awal cerita, si protagonis digambarkan memiliki sifat keras kepala dan tidak menyukai orang-orang yang suka merundung karena ia pernah punya pengalaman mejadi korban. Mendadak di pertengahan, ia menjadi pengecut meski melihat kasus perundungan.
Jika di beberapa bagian berikutnya kamu menjelaskan penyebabnya, mungkin karena si perundung mengancam protagonis akan menyebarkan aib kalau ikut campur misalnya, maka alasan diamnya si protagonis melihat kasus perundungan jadi masuk akal.
Akan jadi masalah fatal kalau tidak ada penjelasan lebih lanjut. Mendadak saja si protagonis merasa takut dan mempunyai sindrom PTSD padahal sejak awal tidak ditunjukkan gejala itu. Plot harus menunjukkan remahan yang membuat pembaca tahu ini akan menjadi sebuah keterkaitan dengan alur berikutnya. Prinsip kausalitas (sebab-akibat) harus jelas.
(Baca Juga: 5 Cara Menulis Novel untuk Pemula)
Menggunakan Setting Hanya Sebagai Tempelan
Bayangkan saja kalau kamu membaca cerita dengan setting London, tetapi penulis hanya menceritakan gambaran kota London dengan kata ‘kota yan sibuk, indah, bersih’ dan menyebutkan nama tempatnya tanpa deskripsi. Pasti rasanya kering.
Kamu memang tidak harus menyusun deksripsi sangat detail, tetapi cerita yang hanya menggunakan setting tanpa memanfaatkannya sebagai pembentuk keterikatan emosi dengan pembaca bisa berakibat fatal. Pembaca pun jadi sulit menikmati dan sukar membayangkan kehidupan di London itu seperti apa.
Penulis harus menunjukkan bagaimana kesan penduduk lokalnya, suhu udaranya, hingga kejadian kecil yang ia lihat di sekitar tempat tinggal, misalnya. Coba amati kembali ceritamu, apakah sudah terasa kehidupan lokal sesuai tempat tinggal protagonis?
Tiga kesalahan fatal penulis fiksi di atas bisa kamu perbaiki dengan membaca ulang dan mengamati detail-detail di dalam cerita. Paling bagus tentu dengan menyusun rancangan plot. Nah, apakah kamu ingin tahu cara meramu plot fiksi yang tajam dan bagus serta dapat bonus materi mini video plot untuk merancang konten personal branding? Yuk, ikutan kelas di bawah ini. Silakan daftar di sini. Mau tanya-tanya dulu? Kirim pesan ke DM Instagram (@)wordholic_class.
0 Comments